page

Stay connected

Mohon di like ya...


Minggu, 29 September 2013

Kisah Salman Al Farisi Melamar Wanita

Salman Al Farisi memang sudah waktunya menikah. Seorang wanita Anshar yang dikenalnya sebagai wanita mukminah lagi shalihah juga telah mengambil tempat di hatinya. Tentu saja bukan sebagai kekasih. Tetapi sebagai sebuah pilihan dan pilahan yang dirasa tepat. Pilihan  menurut akal sehat. Dan pilahan menurut perasaan yang halus, juga ruh yang suci.
Tapi bagaimanapun, ia merasa asing di sini. Madinah bukanlah tempat kelahirannya. Madinah bukanlah tempatnya tumbuh dewasa. Madinah memiliki adat, rasa bahasa, dan rupa-rupa yang belum begitu dikenalnya. Ia berfikir, melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi sebuah urusan yang pelik bagi seorang pendatang. Harus ada seorang yang akrab dengan tradisi Madinah berbicara untuknya dalam khithbah. Maka disampaikannyalah gelegak hati itu kepada shahabat Anshar yang dipersaudarakan dengannya, Abud Darda’.
Subhanallaah.. wal hamdulillaah..”, girang Abud Darda’ mendengarnya. Mereka tersenyum bahagia dan berpelukan. Maka setelah persiapan dirasa cukup, beriringanlah kedua shahabat itu menuju sebuah rumah di penjuru tengah kota Madinah. Rumah dari seorang wanita yang shalihah lagi bertaqwa.
”Saya adalah Abud Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya.”, fasih Abud Darda’ bicara dalam logat Bani Najjar yang paling murni.
”Adalah kehormatan bagi kami”, ucap tuan rumah, ”Menerima anda berdua, shahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang shahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami.” Tuan rumah memberi isyarat ke arah hijab yang di belakangnya sang puteri menanti dengan segala debar hati.
”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili puterinya. ”Tetapi karena anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abud Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.”
Jelas sudah. Keterusterangan yang mengejutkan, ironis, sekaligus indah. Sang puteri lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya! Itu mengejutkan dan ironis. Tapi saya juga mengatakan indah karena satu alasan; reaksi Salman. Bayangkan sebuah perasaan, di mana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu yang membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran; bahwa dia memang belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya. Mari kita dengar ia bicara.
”Allahu Akbar!”, seru Salman, ”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abud Darda’, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!”
♥♥♥
Tak mudah menjadi lelaki sejantan Salman. Tak mudah menjadi sahabat setulus Abud Darda’. Dan tak mudah menjadi wanita sejujur shahabiyah yang kelak kita kenal sebagai Ummud Darda’. Belajar menjadi mereka adalah proses belajar untuk menjadi orang yang benar dalam menata dan mengelola hati. Lalu merekapun bercahaya dalam pentas sejarah.

Sabtu, 28 September 2013

Stag

tak tau lagi lidah ini harus berucap apa,
semua kaku tak berdaya
ketika sang bulan menampakkan cahayanya
cahaya sayu tertutup awan cumulus

hati ini seolah bergetar
mengisyaratkan rasa yang telah lama tidur
wahai engkau purnama
mengapa cahayamu terasa menyejukkan hati

semua berawal dari ketidaksengajaan
entah berawal dari mana
karena aku sendiri tak tau ujung awal kisah ini
semua seperti sengatan listrik yang terhantar melalui sepotong besi

Senin, 23 September 2013

Alangkah Lucunya Negeri Ini

entah sampai kapan semua berakhir,
bayangan semu ini selalu mengejar melewati batas,
realita dan rekayasa berpadu menjadi satu,
membentuk artian yang penuh dengan ambigu,

entah sempai kapqn semua berakhir,
ketaatan kita kepada pemimpin dzalim,
batas moral dan etika perlahan hilang,
luntur tanpa dikenang,

entah sampai kapan semua berakhir,
paksaan pemahaman yang selalu datang,
bukankah negeri ini negeri demokrasi??
dimana semua bebas beraspirasi,

entah sampai kapan semua akan berakhir,
hidup miskin di bumi pertiwi,
betapa sedihnya sukarno bila melihat ini,
harta bumi pertiwi dikeruk luar negeri,

Jumat, 20 September 2013

Fajar

Sang fajar telah tiba dari ufuk timur, 
Entah mengapa tubuh ini merasa sangat bergairah menerima kehadiranmu
Melentangkan kedua tangan dan menghela nafas panjang

Sang fajar,
Entah mengapa sinarmu selalu membawa kehahatan
Membawa hati ini merasa nyaman,
Menerbangkan rasa ini jauh ke dalam angan-angan dunia
Membawa jiwa ini untuk selalu merasakan jiwa muda

Sang fajar,
Entah mengapa perjumpaan denganmu terlalu singkat
Tidak seperti siang ataupun malam
Perjumpaan denganmu adalah suatu keberuntungan,
Keberuntungan bagi ingsun ingsun yg mau menyambutmu

Puji syukurku kupanjatkan pada-Mu
Terima kasih atas segala nikmat fajar ini Ya Rabb


Rabu, 18 September 2013

Untuk 4 Wanita Spesialku

Teruntuk 4 wanita spesialku, 
entah mengapa doa malam ini cukup bisa meneteskan 
air mata ini meskipun hanya dalam pengharapan...

Untukmu wanitaku yg pertama, 
saya tidak akan pernah lupa nazar telah ku ucap di depan wanitaku yg kedua

Untukmu wanitaku kedua, 
aku tidak akan membiarkanmu merasa terbebani dengan masalah dunia ini, 
aku akan selalu disampingmu utk membantu

Untukmuwanitaku ketiga, 
aku akan selalu mendukungmu dari belakang, 
karena aku yakin engkau adalah wanita yg kuat nan cerdasss

Untukmu wanitaku keempat, 
ku akan selalu dsampingmu, mnjagamu, 
menyayangimu dan mendukungmu 
seperti ketiga wanitaku sebelumnya smpai akhir hidup ini